Layakkah Siswa SMK Memegang Sertifikat Profesi dari BNSP
Ilustrasi: Siswa SMK sedang Mengikuti Ujian Kompetensi Nasional/ Doc. Redaksi |
Bagaimana dengan
sertifikat profesi? Kalau menurut Wikipedia Sertifikat Profesi adalah suatu
penetapan yang diberikan oleh suatu organisasi profesional terhadap seseorang
untuk menunjukkan bahwa orang tersebut mampu untuk melakukan suatu pekerjaan
atau tugas spesifik. Sertifikasi biasanya harus diperbaharui secara berkala,
atau dapat pula hanya berlaku untuk suatu periode tertentu.
Sebagai bagian dari
pembaharuan sertifikasi, umumnya diterapkan bahwa seorang individu harus
menunjukkan bukti pelaksanaan pendidikan berkelanjutan atau memperoleh nilai
CEU (continuing education unit).
Intinya sertifikat itu adalah semacam pengakuan orang lain kepada si pemegang.
Pengalaman
bertahun-tahun tak akan di akui jika belum mempunyai sertifikat. Masih ingat
ketika para penari yang di undang ke Eropa gagal berangkat karena mereka tidak
bersertifikat? Atau pemusik yang merasa tersinggung saat di tanya sertifikat?
Dan karena ingin di akui pula, para petinggi dunia Pendidikan Kejuruan merasa
galau ketika para siswa SMK belum mempunyai sertifikat keahlian. Kalau hanya
lulus mendapatkan ijazah apa bedanya dengan SMA? Toh lulusan SMA dan SMK ketika
masuk dalam dunia kerja sama-sama masih level operator, itupun sama-sama harus
mengikuti training. Jadi sebegitu
pentingkah sertifikat keahlian itu penting bagi pemegangnya? Jawabnya tentu
penting untuk mereka yang mempunyai sense
of crisis, dan tidak penting untuk yang terbiasa menganut menejemen pasrah.
Sebenarnya perangkat
regulasi yang terkait dengan ini sudah ada semenjak tahun 2003. Dimulai dari UU
No 13/2003 tentang Ketenaga kerjaan, PP No 23/2004 tentang Badan Nasional
Sertifikasi Profesi (BNSP), PP No 31/2006 tentang Sistim Pelatihan Kerja
Nasional dan Per Pres No 8/2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
dan di tambah puluhan Peraturan menteri yang lebih memperjelas. Artinya apa?
selama 15 tahun masyarakat kita menganggap “Belanda masih jauh”. Itulah yang di
sebut kurang mempunyai sense of crisis.
Menganggap semua itu belum ada manfaatnya atau kurangnya "kepekaan
terhadap sebuah suasana". Puncaknya ketika tahun ini, yaitu saat MEA
(Masyarakat Ekonomi ASEAN) mulai di implementasikan.
Terkait dengan
sertifikat profesi di dunia pendidikan kejuruan, sebenarnya kurang tepat kalau
di sebut mempunyai sertifikat keahlian karena menurut Permen Dikbud N0 73/2013,
jenjang pendidikan formal setingkat SMU/SMK sampai D III ada di level operator.
Untuk menjadi Ahli harus di jenjang S2. Namun bukan itu esensinya. Sertifikat
profesi di sini diartikan sebagai pembeda dari lulusan SMA dan SMK, sehingga ke
depan bisa jadi tak ada lagi ijazah dan sejenisnya bila sudah bersertifikasi.
Dari beberapa kompetensi di sekolah kejuruan, memang hanya otomotif yang sudah
mempunyai standar kompetensi dan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP). Namun dari
pihak BNSP sudah mempunyai Program Percepatan Sertifikasi Kompetensi menyikapi
implementasi MEA yang sudah berjalan seperti yang disampaikan Kepala BNSP Ir.
Sumarna F Abdurrahman, M.Sc saat menjadi keynote
speech pada Sosialisasi Program Sertifikasi SMK April 2015 kemaren. Sebagai
mantan penguji eksternal dari beberapa SMK, Program Percepatan Sertifikasi
Kompetensi sebenarnya merupakan sebuah program yang “biasa saja”. Jauh
sebelumnya, SMK selalu memberikan sertifikat kepada siswa sesuai
kompetensi/jurusan.
Pemberian sertifikat
diberikan setelah para siswa mengikuti Ujian Nasional Kompetensi Kejuruan
(UNKK). Memang harus diakui bahwa di kemudian hari sertifikat tersebut relatif
tidak bernilai meskipun logo dari industri pemberi sertifikat tertera jelas di
lembar sertifikat. Hal ini bisa di buktikan dengan tidak terserapnya para siswa
di tempat industri pemberi sertifikat.
Sampai saat ini saya
melihat tidak semua dunia industri merekrut siswa SMK karena keahlian apalagi
mempunyai sertifikat. Cukup hanya butuh fisik yang prima, sikap terpuji,
kecerdasan sedikit diatas rerata dan sedikit pengetahuan ketrampilan sudah
cukup untuk meloloskan siswa ke dunia industri untuk kemudian perusahaan akan
mendidik ke bagian mana akan di pekerjakan. Bila memang kenyataannya demikian,
masih perlukah BNSP memberikan sertifikat profesi ke siswa SMK? Dalam jangka
panjang tetaplah suatu keharusan. Apalagi bila di kaitkan dengan Negara kita
yang sudah membuat Perjanjian Pengakuan Kesetaraan dengan Negara ASEAN.
Tetapi untuk jangka
pendek, Program Percepatan Sertifikasi Kompetensi masih jauh panggang dari api.
Banyak penyakit kronis yang harus disembuhkan dulu sebelum mengajak berjalan
cepat. Jika dipaksakan pasti akan jadi bumerang ketika logo Garuda dari BNSP
ternyata tidak berbanding lurus dengan kemampuan siswa. Pingin tahu penyakit
kronis yang saya maksud? Ini faktanya: Uji Kompetensi Keahlian (UKK) pada SMK
merupakan bagian Ujian Nasional yang menjadi indikator ketercapaian standar
kompetensi lulusan, sedangkan bagi stakeholder
akan dijadikan sebagai informasi atas kompetensi yang yang dimiliki siswa
sebagai calon tenaga kerja.Sebegitu seriusnya UKK, sampai Mendikbud mengatur
kritetria kelulusan dengan mengeluarkan Permendikbud RI No 144/2014).
Adapun teknis
pelaksanaannya di atur oleh Badan Standar Nasional Pendidikan/BSNP (Jangan
salah dengan BNSP. BSNP, Standar Pendidikan BNSP, Standar Profesi). Mulai dari
Kisi-kisi uji kompetensi, verivikasi Tempat Uji Kompetensi /TUK sampai lembar
penilaian, semuanya terstruktur dan sistimatis. Artinya bila acuan yang di
pakai persis seperti yang tertulis pada BSNP, maka validitas nilai tak ada yang
meragukan lagi. Lebih jelas lagi bila aturan dari BSNP di tegakkan, maka BNSP
tak perlu membuat Program Percepatan Sertifikasi Kompetensi. Hanya di perlukan
verifikasi untuk mengganti sertifikat reguler menjadi sertifikat berlogo
Garuda.
Ilustrasi: kantor BNSP/bnsp.co.id |
Anekdot, peraturan
dibuat untuk di langgar dalam prakteknya berlaku di UKK ini. Seperti yang
dikutip dari Kompasiana.com, menjelaskan ada sedikita peraturan yang dilanggar.
Dimulai dari sambutan Top Menejemen sekolah yang berbau breafing membuat para
penguji eksternal tertawa masam. Akhirnya para penguji eksternal dalam posisi
terjebak sehingga sulit untuk mencerminkan “Brand”
perusahaan yang dia wakili. Bukan tentang kualitas “work skill” mereka, tapi lebih karena “sense of humanism”. Rasa manusiawi melihat TUK yang tidak layak,
kualitas siswa yang dominan di bawah rerata dan yang terberat tentu nilai yang
diberikan oleh penguji eksternal, menentukan kelulusan siswa. Semuanya berbaur
sehingga destinasi nilai menjadi “bim salabim”. Memang tidak semua penguji
eksternal mempunyai sense of humanism,
terkadang dengan nilai idialis (di bawah rerata maksudnya) yang dia berikan ke
siswa membuat pontang panting lembaga. Dibutuhkan lobi-lobi bila terjadi
seperti ini. Biasanya penguji eksternal model seperti ini tidak akan di “pakai”
untuk tahun berikutnya. Bagaimana dengan penguji internal yang di ambil dari
Guru mereka sendiri? Apa perlu di jelaskan? Kesimpulannya, untuk mempunyai
sertifikat profesi kata kuncinya adalah “Work Skill”, dan itu hanya bisa di
bangun oleh Guru. Wa bil khusus Guru Sertifikasi. Jadi dalam jangka pendek,
BNSP belum urgen untuk memberi siswa SMK sertifikat berlogo Garuda. Sebaliknya
dari pihak BSNP tidak hanya membuat aturan saja tapi turun ke bawah melihat
kenyataan dan mengevaluasinya. untuk Lembaga Sekolah, sense of crisis adalah satu paket dengan sense of belonging dan sense
of responsibilty. keduanya harus ada sebelum muncul sense of crisis. Dan untuk para guru, tidak perlu harus menjadi
assesor untuk bisa menguji siswa. Cukup tegakkan aturan yang di buat oleh BSNP
maka merdeka.
Layakkah Siswa SMK Memegang Sertifikat Profesi dari BNSP
Reviewed by Unknown
on
23.42.00
Rating:
Tidak ada komentar